1. Latar
Belakang
Program internasional yang dibuka oleh beberapa sekolah di
dunia membuka kemungkinkan adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang
berbeda untuk belajar bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Di Indonesia
sendiri, semakin banyak dibuka sekolah internasional yang memungkinkan
diterimanya pelajar dari negara lain untuk belajar di Indonesia. Demikian juga,
tak kalah banyak, masyarakat Indonesia yang memilih untuk mengirimkan anak-anak
mereka untuk bersekolah di luar negri yang mengharuskan mereka menyesuaikan
diri dengan budaya baru.
Di antara beberapa persoalan penyesuaian diri yang dialami
para siswa ini, salah satu persoalan yang dianggap sebagai masalah mendasar
yang khas dialami oleh siswa-siswi internasional adalah adanya fenomena culture
shock. Fenomena culture shock dianggap menjadi persoalan mendasar bagi para
siswa internasioanal karena sering kali fenomena ini lah yang menjadi akar dari
berbagai kesulitan penyesuaian diri yang dialami oleh siswa-siswi
internasional. Hal ini terjadi dikarenakan kultur bisa menjadi kompas bagi arah
perilaku, dan menuntun cara berpikir dan berperasaan individu. Ketika individu
berada dalam kebudayaan yang berbeda, ia bisa mengalami kesulitan bila
nilai-nilaibudaya yang melekat pada dirinya berbeda dengan budaya setempat.
Mengingat hal itu, maka pembicaraan mengenai penyesuaian diri siswa-siswi
internasional tidak dapat dilepaskan dari akar persoalan mereka saat berada di
lingkungan yang baru, yaitu pengalaman culture shock.
Namun lepas dari konteks globalisasi pendidikan di atas,
sebenarnya antar suku di Indonesia sendiri memungkinkan penduduk Indonesia
untuk diharuskan belajar budaya baru saat mereka keluar dari tempat tinggalnya,
mengingat begitu berbedanya budaya satu dan budaya lainnya di Indonesia. Dalam
hal ini, konteks bercampurnya siswa-siswi dari budaya yang berbeda yang terjadi
di Indonesia bisa dikatakan bukanlah hal yang baru. Mengingat begitu beragamnya
budaya di Indonesia, maka potensi untuk terjadinya culture shock di antara para
penduduk yang tinggal di tempat baru di Indonesia juga akan semakin besar.
Kemungkinan terjadinya culture shock di Indonesia sangat
besar, ini menjadi daya tarik tersendiri untuk diperbincangkan. Mengingat hal
tersebut, penulis memandang perlunya mengangkat topik culture shock ini dalam
pembahasan ilmiah di Indonesia. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran
mengenai fenomena culture shock, faktor-faktor penyebab dan
kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi terjadinya culture shock.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan shock culture ?
2. Apa
gejala-gejala dari shock culture ?
3. Apa
faktor penyebab terjadinya shock culture ?
4. Apa
contoh dari shock culture ?
2. Pembahasan
Definisi Culture Shock
Istilah culture shock awalnya terdokumentasi dalam jurnal
medis sebagai penyakit yang parah (berpotensi hilangnya nyawa seseorang), yang
diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindah ke luar negri (www.wzo.org.il/en/resources/view.asp?id=1445).
Namun istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan oleh
seorang sosiolog Kalervo Oberg di akhir tahun 1960. (dalam Irwin, 2007)
mendefinisikan culture shock sebagai “penyakit” yang diderita oleh individu
yang hidup di luar lingkungan budayanya sendiri. Istilah ini mengandung
pengertian adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang
harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami
oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara
kebudayaan maupun sosial baru. Oberg (dalam Irwin, 2007) lebih lanjut
menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan
nilai-nilai yang selama ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi
saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relative lama.
Definisi Adler (1975) lebih menekankan bahwa culture shock
adalah suatu rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan
(reinforcement) yang selama ini diperoleh dari kebudayaan yang lama, diganti
dengan stimulus dari kebudayaan baru yang terasa asing, dan karena adanya
kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda. Perasaan ini mungkin
meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain
akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan
perasaan diabaikan oleh orang lain.
Gejala-Gejala Culture Shock
Gejala munculnya culture shock bisa berbeda-beda antara satu
orang dengan yang lain. Namun ada beberapa yang biasanya ditunjukkan individu
saat mengalami culture shock, yaitu antara lain :
§ Perasaan
sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan,
disorientasi
§ Menjadi lebih
kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara yang
lebih maju, biasanya menjadi
lebih sensitive terhadap masalah kebersihan di tempat yang baru. Tidak bersedia
makan atau minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan berbagai penyakit
dan sangat khawatir akan kebersihan makanan dan penduduk setempat.
§ Menderita rasa
sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi, serta gangguan-gangguan
kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala dll.
§ Adanya
perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa tidak
berdaya
§ Perasaan
marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi dengan
orang lain
§ Selalu
membanding-bandingkan budaya asalnya, mengidolakan kebudayaan asal secara
berlebihan
§ Kehilangan
identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya.
Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba
kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik dll.
§ Mencoba
terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya
(karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang justru bisa
menimbulkan perasaan kewalahan.
§ Tidak mampu
memecahkan masalah sederhana
§ Kehilangan
kepercayaan diri.
Secara singkat Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk
distress mental maupun fisik yang dialami di lokasi asing disebut sebagai
gejala culture shock.
Faktor Penyebab Munculnya Culture Shock
Lin (2007) menemukan dalam penelitiannya terhadap anggota
Organisasi Komunitas Mahasiswa Cina di Amerika, bahwa fenomena culture shock
bersifat kontekstual dan dialami dengan berbeda-beda dari generasi ke generasi
berikutnya. Artinya, faktor yang mendorong bagaimana munculnya culture shock
juga akan sangat spesifik tergantung pada di daerah mana individu tersebut
berasal, di daerah mana individu berada, serta pada tahun atau masa seperti
apa, akan sangat bervariasi.
Fenomena mengapa culture shock dapat terjadi bisa dipandang
dari beberapa pendekatan. Chapdelaine (2004) mencatat paling tidak terdapat
empat pendekatan dalam menjelaskan fenomena culture shock. Pendekatan ini
meliputi pendekatan:
a) Pendekatan
Kognitif
Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian
lintas budaya individu akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk
membuat atribusi yang tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku
dan norma di lingkungan yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan
menyesuaikan diri karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk
menilai, menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru
(Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya
menjadi tidak efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian
bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
b) Pendekatan
Perilaku
Menurut pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi
karena individu tidak memahami sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di
kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar
dalam perilaku verbal maupun nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam
Chapdelaine, 2004). Dalam hal ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal
dianggap sebagai hal yang dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin
di kultur baru dianggap buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di
Indonesia menanyakan “Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada
teman dianggap sebagai perhatian dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain
dianggap terlalu mencampuri urusan orang dan membuat orang tersinggung.
c) Pendekatan
Fenomenologis
Menurut pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman
transisional dari kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran
yang tinggi akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine,
2004). Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat
lagi menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi
aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini
dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak
melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia
tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di
kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap
sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam proses inilah
seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang dulu pernah
dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya
diyakini selama ini. Hal ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi
individu tersebut.
d) Pendekatan
sosiopsikologis
Pada pendekatan ini, meliputi
d.1. Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur
antara kultur asal dan kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing,
perasaan kesepian, rasa keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya.
d.2. Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock
terjadi karena individu tidak memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia
dapat berinteraksi dengan baik dengan warga lingkungan baru. Individu juga
memiliki identitas kultur yang begitu besar sehingga menyulitkannya untuk
beradaptasi dengan kultur yang baru.
Contoh shock culture
ketika mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa study di
Paris, mereka akan sangat merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra
para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Perasaan kaget
yang timbul terhadap pasangan homogen tersebut di karenakan di Indonesia
sendiri, komunitas marginal lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif
oleh banyak pihak di Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal,
komunitas mereka adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan
umum pun tidak dianggap suatu perbuatan memalukan. Ini akan membuat mahasiswa
dari Indonesia merasakan shock culture (kekagetan budaya).
Selain itu dari pola makan juga mahasiswa Indonesia bias
merasakan shock culture (kekagetan budaya), misalnya, di Indonesia setiap hari
makan dengan nasi namun ketika iya tinggal dan menempuh pendidikan di Paris,
mahasiswa akan sulit menyesuaikan dengan menu makan yang ada di Paris, butuh
waktu yang cukup lama untuk mahasiswa Indonesia beradaptasi dengan menu makan yang ada di Paris.
3. Kesimpulan
Fenomena shock culture bias terjadi kepada beberapa aspek,
aspek Psikologis,aspek Fisik,aspek Sosial dll. Shock culture terjadi karena
individu yang datang dan menetap didaerah tertentu yang memiliki kebudayaan
yang bebeda dengan kebudayaan yang selama ini tetanam pada dirinya sendiri,
sehingga terjadi kekagetan terhadap budaya yang baru, pada kekagetan budaya
tersebut diperlukan kecerdasan dari individu dalam menyikapinya, karena
kekagetan budaya jika tidak disikapi dengan cerdas kemungkinan individu bisa
terbawa kedalam kebudayaan yang baru yang dipandang dari kebudayaan yang ada
pada dirinya sendiri sebagai budaya yang negative.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar