SOE HOK GIE lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942. Ia adalah putra keempat dari keluarga penulis produktif Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Usia lima tahun adik Arief Budiman ini masuk sekolah Sin Hwa School, sekolah khusus untuk keturunan Tionghoa. Lulus SD ia meneruskan ke SMP Strada, kemudian ke SMA Kanisius, Jakarta, lalu ke Universitas Indoneisa Jurusan Sejarah. Mahasiswa Soe Hok Gie berperawakan kecil tapi bercita-cita besar.
GIE sapaan akrab Soe Hok Gie meninggal bersama sahabatnya Idhan Danvantari Lubis digunung Semeru ketika melakukan pendakian kegunung Semeru tanggal 16 Desember 1969, saat itu Gie, Idhan dan sahabat-sahabat lainnya mendaki gunung Semeru, namun sayangnya Gie dan Idhan meninggal di Mahameru (puncak gunung Semeru) akibat menghirup gas beracun dari kawah gunung Semeru, 24 Desember 1969 Gie dimakamkan dipemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang, sayangnya pada tahun 1975 Ali Sadikin (gubernur DKI pada saat itu) membongkar Pekuburan Kober dan jenazah Gie harus dipindahkan lagi, namun keluarga dan sahabat Gie menolak untuk memindahkan makam Gie, karna Gie pernah berpesan jika ia meninggal ia minta jenazahnya dibakar dan abunya dibuang digunung, akhirnya keluarga dan sahabtanya melakukan itu lalu abunya dibuang di gunung Pangrango.
Almarhum Soe Hok Gie adalah salah satu tokoh penting mahasiswa. Ia termasuk salah satu tokoh kunci dalam sejarah munculnya angakatan ’66, suatu angkatan dalam sejarah gerakan kaum muda di Indonesia yang nyaris jadi legenda, sekaligus mitos. Soe Hok Gie sebagai bagian dari gelombang yang bergulung pada masa itu, juga banyak menulis dan membuat catatan-catatan di berbagai media masa. Tulisan-tulisannya yang tajam, menggigit dan seringkali sinis itu membuat rasa kemanusiaan setiap pembacanya seperti dirobek-robek, tahun-tahun antara 1967-1969 merupakan masa yang produktif bagi Soe Hok Gie. Pada saat itu yang terjadi di Tanah air adalah periode transisional pada tingkat elit kekuasaan : Orde Lama ke Orde Baru.
Sebuah hal yang menarik bagi saya untuk melakukan analisa kepribadian Gie, kali ini saya akan melakukan analisa terhadap kepribadian Gie dengan menggunakan teori struktur kepribadian dari Gordon W. Allport. Struktur kepribadian menurut Allport ada 3, yaitu : Cardinal Trait, Central Trait, dan Secondary Trait.
Cardinal Trait dari Gie adalah epic writer, hal ini karena Gie memang dikenal dari karya tulisannya, banyak karya tulisnya yang membuat para pembaca merasa terpukau, Gie juga aktif menulis diberbagai media cetak, banyak kalangan yang menganggap bahwa Gie adalah penulis yang cukup produktif, seperti yang disampaikan Prof. Dr Harsja W.Bachtiar yang pada saat itu sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia “Soe Hok Gie adalah seorang cendikiawan yang ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan yang terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya. Tulisan-tulisannya menggugah hati pembaca, menjadikan mereka menyokong sepenuhnya pandangan-pandangan yang dikemukakannya atau membenci penulisnya yang berani mengatakan apa yang tidak berani dinyatakan oleh orang lain. Jarang ada pembaca yang tidak terpengaruh oleh tulisannya. Soe Hok Gie adalah seorang pemuda yang penuh cita-cita Dalam memperjuangkan cita-citanya ia berani berkorban dan memang sering menjadi korban”. Selain itu sahabat Gie juga mengatakan “Gie itu punya kebiasaan nulis, kalau lagi digunung Gie suka sendiri sambil nulis"
Gie juga dikenal senang sekali membuat catatan pribadi tentang apa yang dilakukannya dan tentang pikirannya, banyak catatan harian Gie dibuku kan, ada beberapa buku yang isinya adalah catatan harian dari Gie, salah satu buku yang berisi catatan harian Gie adalah Catatan Seorang Demonstran, didalam buku tersebut berisikan catatan harian Gie selama Gie aktif dari dunia pergerakan mahasiswa.
Banyak puisi karya Gie yang buat saya pribadi cukup mengesankan terutama puisis-puisi yang bertemakan alam, salah satu puisi karya Gie yang bertemakan alam berjudul Mandalawangi, Mandalawangi adalah tempat padang Edelweis digunung Pangrango yang juga jadi tempat dibuangnya abu dari sisa pembakaran jenazah Gie, berikut adalah puisi hasil karya Gie yang berjudul Mandalawangi :
MANDALAWANGI – PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurangmu
Aku datang kembali
Kedalam rimbaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah misteri segala cintamu dan cintaku adalah kebisuanmu semesta
Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti
Mandalawangi kau datang
Kau kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar ‘terimalah dan hadapilah
Dan antara ransel kosong dan api unggun yang membara aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta kepadamu pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
Central Trait dari Gie adalah konsisten, hal ini ditunjukan Gie dalam gerakannya melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang Gie anggap tidak berpihak pada rakyat kecil, banyak hal yang dilakukan Gie dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah, mulai dari membuat tulisan tentang pandangannya terhadap pemerintah yang terkesan sangat berani, Gie juga disebut-sebut sebagai pelopor dari gerakan unjuk rasa besar-besaran dari mahasiswa pada tahun 1966 yang menuntut Soekarno turun dari jabatannya sebagai Presiden RI seperti yang digambarkan pada film “Gie, Catatan Seorang Demonstran”. Berbeda dengan beberapa temannya yang setelah aktif digerakan mahasiswa dalam melawan pemerintah lalu malah bergabung dengan pemerintah, Gie menganggap bahwa itu sebagai sebuah hal “Munafik” dan Gie tidak menyukai hal itu, padahal Gie yang pernah diundang untuk berdiskusi ke Istana oleh Soekarno sebanyak 5 kali pernah ditawari menjadi Mentri namun Gie menolaknya, akibat ketidak sukaannya Gie terhadap bergabungnya temen-temannya dengan pemerintah akhirnya Gie mulai ditinggalkan oleh teman-temannya, namun walaupun Gie mulai ditinggalkan teman-temannya karena sikapnya Gie sama sekali tidak merubah sikapnya terhadap pemerintah, Gie tetap aktif mengkritisi kinerja pemerintah pada saat itu, sampai akhirnya Gie mengelurkan sebuah pernyataan yang saya anggap cukup inspiratif “lebih baik diasingkan dari pada menyerah terhadap kemunafikan”.
Konsistensi Gie dalam mengkritisi kinerja pemerintah sama sekali tidak goyah meski Gie sempat berpikir bahwa yang ia lakukan itu sia-sia, seperti yang tuliskan Arif Budiman (kakak Gie) dalam bukunya Gie mengatakan “Akhir-akhir ini saya selalu berfikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik pada banyak orang yang saya angap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik saya tidak merubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian”. Menurut Arif Budiman Dia (Gie) menulis kritik-kritik yang keras dikoran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama, dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang kenegerimu saja”. Ibu saya sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap ibu ia Cuma tersenyum dan berkata, “Ah, Mama tidak mengerti.” Dan Gie meneruskan apa yang selama ini dilakukan yaitu mengkritisi kinerja pemerintah sampai akhir hidupnya.
Secondary Trait dari Gie adalah petualang, karna Gie memiliki kebiasaan menghabiskan akhir pekannya kegunung, “Gie bareng sahabat-sahabatnya seperti Idhan, Herman Lantang, Prabowo Dll termasuk bareng gua suka naek gunung, apa lagi ke Pangrango itu kita sering banget”, cerita sahabat Gie. Selain itu Gie juga disebut-sebut sebagai salah satu pendiri dari MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia), bahkan Gie pada saat menghembuskan nafas terakhirnya pun digunung yaitu di gunung Semeru.